PROBOLINGGO – Pengurus Cabang Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Kota Probolinggo menggelar Diskusi Publik Kepahlawanan bertema “Antara Bapak Pembangunan dan Gelar Pahlawan”, pada Senin (17/11), di Café Asyiq. Acara ini menghadirkan empat narasumber: Harmoko, H. Musaffa Safril ketua PW Ansor Jawa Timur, Dedi Bayu Angga, dan Salamul Huda sebagai Ketua PC Ansor Kota Probolinggo, serta diikuti akademisi, aktivis, tokoh masyarakat, dan mahasiswa.
Diskusi berlangsung dinamis, memotret bahwa wacana penganugerahan gelar pahlawan bagi Presiden Soeharto masih menimbulkan perdebatan publik, baik dari sisi historis maupun moralitas politik.
Dalam pemaparannya, Harmoko menegaskan bahwa Soeharto memiliki jasa besar dalam pembangunan nasional. Ia menyebut stabilitas negara, swasembada pangan, industrialisasi, hingga pembangunan desa sebagai pencapaian yang masih dirasakan hingga kini. Menurutnya, capaian tersebut layak menjadi pertimbangan dalam wacana gelar pahlawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun pendapat berbeda disampaikan Dedi Bayu Angga. Ia menilai, perjalanan Orde Baru juga membawa catatan serius terkait pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan penyempitan kebebasan sipil.
“Gelar pahlawan tidak bisa diberikan hanya dengan melihat prestasi. Kejujuran sejarah harus menjadi landasan,” ujarnya.
Salamul Huda mengajak publik untuk melihat Soeharto secara proporsional. Menurutnya, figur Soeharto terdiri dari dua sisi: keberhasilan besar dan sisi kelam yang tidak boleh dihapus. Ia menegaskan perlunya membaca sejarah secara objektif, tanpa glorifikasi maupun kebencian berlebihan.
Ketua PW GP Ansor Jawa Timur, H. Musaffa Safril, menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa memaafkan tanpa menghapus ingatan. Ia menilai diskusi terkait Soeharto harus menjadi ruang rekonsiliasi, bukan memperlebar jarak antargenerasi.
“Menempatkan jasa dan kekurangan secara proporsional adalah bentuk kedewasaan bangsa. Jika gelar pahlawan diberikan, itu seharusnya menjadi simbol kematangan kolektif,” tegas Musaffa.
Diskusi semakin memanas ketika peserta mengajukan pertanyaan mengenai kesiapan bangsa berdamai dengan luka sejarah. Sebagian peserta menilai gelar pahlawan bagi Soeharto layak mengingat kontribusinya dalam pembangunan. Namun peserta lain mengingatkan, gelar itu bisa memunculkan polemik baru bila tidak diiringi dengan pengakuan atas kesalahan masa lalu.
Menjelang akhir diskusi, para narasumber sepakat bahwa gelar pahlawan bagi Soeharto bisa diterima sebagai langkah rekonsiliasi bangsa—dengan catatan memori sejarah tetap dijaga. Gelar tersebut tidak dimaknai sebagai pemutihan masa lalu, tetapi bentuk penghargaan atas jasa besar yang pernah diberikan.
Konsensus tersebut dinilai sebagai wujud kedewasaan nasional dalam menilai sejarah secara proporsional.
Gelaran diskusi ini menegaskan bahwa perdebatan wacana kepahlawanan bukan sekadar persoalan gelar, tetapi proses pembelajaran nasional. PC GP Ansor Kota Probolinggo berharap ruang-ruang diskusi serupa terus digelar sebagai bagian dari literasi kebangsaan serta upaya memperkuat kedewasaan publik dalam membaca sejarah Indonesia.






