PROBOLINGGO – Proses pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD Kota Probolinggo Tahun Anggaran 2026 kembali menghadapi hambatan serius. DPRD menemukan adanya kekeliruan signifikan dalam penyajian data anggaran yang terdapat pada sejumlah lampiran Raperda. Temuan ini dianggap dapat memengaruhi akurasi dan keabsahan seluruh proses pembahasan anggaran.
Wakil Ketua I DPRD Kota Probolinggo, Abdul Mujib, mengungkapkan persoalan tersebut setelah melakukan pengecekan dan verifikasi mendalam terhadap dokumen Raperda, khususnya Lampiran 1 hingga Lampiran 4.
Legislator dari Fraksi PKB itu menjelaskan beberapa contoh kekeliruan yang ditemukan. Salah satunya ialah tercantumnya hibah kegiatan Pramuka sebesar Rp4,5 miliar pada dokumen awal. Setelah dilakukan klarifikasi dan dicocokkan dengan rencana kegiatan yang sebenarnya, angka tersebut terbukti tidak sesuai. Padahal, anggaran dasar kegiatan Pramuka umumnya hanya berkisar di angka Rp360 juta. Ketidaksesuaian ini menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar antara data kegiatan dan nominal anggaran yang disajikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Mujib, kesalahan tersebut bersifat sistematis dan tidak hanya terjadi pada satu kegiatan saja, melainkan juga pada penyajian kegiatan serta angka-angka lain di dalam lampiran anggaran.
“Setelah saya teliti, saya ambil sampel, memang benar terjadi kekeliruan dalam penyajian data. Padahal landasan pembahasan kita nantinya bersumber dari Raperda dan seluruh lampiran itu,” tegasnya usai mengikuti rapat.
Selain persoalan data yang keliru, Mujib juga menyoroti ketimpangan yang sangat mencolok antara Belanja Operasional dan Belanja Modal. Menurutnya, komposisi anggaran tersebut belum mencerminkan orientasi pembangunan jangka panjang.
Ia mencontohkan, Belanja Modal—yang seharusnya menghasilkan aset jangka panjang seperti pembangunan infrastruktur—hanya berada di kisaran Rp58 miliar. Sementara itu, Belanja Operasional, yang mencakup biaya rutin seperti gaji pegawai dan kebutuhan perkantoran, mencapai Rp927 miliar.
“Ini ibarat membeli seekor kambing Rp3 juta, tetapi ongkosnya Rp40 juta,” ujar Mujib, menggambarkan ketimpangan tersebut secara satir.
Ia menekankan perlunya perubahan paradigma pengelolaan APBD agar porsi belanja bisa lebih diarahkan pada pembangunan yang membawa manfaat besar bagi masyarakat.
“Paradigma APBD harus berubah. Jangan sampai masyarakat yang menanggung akibatnya karena operasional yang terlalu besar,” katanya.
Isu lain yang memicu pertanyaan ialah alokasi honor bagi Ketua RT dan Ketua RW. Di beberapa kecamatan, besaran anggaran yang tercantum menunjukkan selisih yang jauh dari seharusnya. Misalnya, Kecamatan Mayangan mendapatkan alokasi hingga Rp12 miliar dan Kecamatan Kanigaran Rp15 miliar. Angka ini sangat berbeda dibanding kecamatan lain yang hanya berkisar Rp300 juta sampai Rp400 juta.
Perbedaan tersebut dinilai tidak sejalan dengan peraturan mengenai jumlah RT per kecamatan serta menimbulkan pertanyaan mengenai dasar hukum penyusunannya, apalagi sebelumnya sempat muncul informasi bahwa honor RT/RW akan ditangani oleh Dinas Sosial.
Untuk memastikan proses pembahasan APBD berjalan dengan data yang benar dan sesuai ketentuan, Mujib meminta seluruh dokumen Raperda, termasuk lampiran-lampirannya, direvisi secara menyeluruh sebelum masuk ke tahap pembahasan berikutnya.
“Kami berharap APBD ini diperbaiki total terlebih dahulu sebelum pengesahan. Karena sumber data pembahasan kita adalah dokumen Raperda yang disampaikan,” tutupnya.
Ia menegaskan bahwa perbaikan dari pihak eksekutif sangat diperlukan sebelum pembahasan berlanjut ke tingkat komisi dan Badan Anggaran.






