Jakarta — Wakil Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA) Koordinator Nasional (KORNAS) sekaligus Ketua Tim Investigasi Nasional LSM LIRA, Samsudin, menilai rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak dapat dipandang sebagai peristiwa alam semata. Ia menduga, bencana tersebut merupakan akumulasi panjang dari kerusakan lingkungan yang bersifat sistemik dan terstruktur.
Samsudin menjelaskan, ketiga provinsi tersebut berada dalam satu bentang ekologis strategis di wilayah barat Pulau Sumatera. Kerusakan hutan di wilayah hulu, Daerah Aliran Sungai (DAS), serta kawasan lindung akan berdampak langsung ke daerah hilir. Ketika fungsi ekologis melemah, curah hujan tinggi tidak lagi dapat diserap secara optimal, sehingga berpotensi berubah menjadi bencana kemanusiaan.
“Bencana tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari rangkaian pembiaran yang membuat alam kehilangan daya lindungnya,” ujar Samsudin dalam keterangannya, Senin (15/12/25).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia mengungkapkan, LSM LIRA telah mengantongi data awal terkait dugaan pembalakan liar, alih fungsi kawasan, serta lemahnya pengawasan terhadap perizinan kehutanan. Data tersebut mencakup identitas perusahaan, rekam jejak perizinan, aktivitas lapangan, hingga indikasi keterlibatan oknum tertentu yang diduga melakukan pembiaran atau bahkan memberikan perlindungan terhadap praktik perusakan hutan.
Menurutnya, seluruh temuan awal tersebut akan diserahkan kepada aparat penegak hukum dan kementerian terkait untuk diuji secara objektif dan profesional sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Untuk memperluas pengungkapan kasus dan memastikan kerja organisasi berjalan secara nasional dan terstruktur, Presiden LSM LIRA telah mengeluarkan instruksi resmi kepada seluruh jajaran, mulai dari Gubernur LSM LIRA, Bupati dan Wali Kota LSM LIRA, hingga LBH LIRA di seluruh Indonesia. Instruksi tersebut meminta dilakukannya investigasi menyeluruh terhadap kerusakan hutan dan lingkungan di masing-masing wilayah.
Investigasi difokuskan pada dugaan kerusakan lingkungan yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara, mengancam keselamatan masyarakat akibat risiko longsor dan banjir bandang, serta kemungkinan keterlibatan korporasi maupun aparatur negara.
“Instruksi ini adalah bentuk tanggung jawab organisasi. Ketika kerusakan hutan mengancam nyawa rakyat dan merugikan negara, maka diam adalah bentuk kejahatan,” tegas Samsudin.
LSM LIRA juga menegaskan bahwa kerangka hukum nasional telah menyediakan instrumen tegas untuk menindak dugaan kejahatan kehutanan dan lingkungan, termasuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, pihak yang turut serta, maupun mereka yang melakukan pembiaran.
Atas dasar itu, LSM LIRA secara terbuka meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar memastikan proses penegakan hukum berjalan secara menyeluruh, profesional, dan menyasar aktor intelektual di balik dugaan kejahatan kehutanan di wilayah terdampak bencana.
Selain itu, LSM LIRA mendesak Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Raja Juli Antoni, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh perizinan kehutanan, khususnya di kawasan rawan bencana, serta menutup celah pembiaran yang berpotensi memperparah kerusakan hutan.
Jika dugaan tersebut terbukti, perbuatan dimaksud berpotensi melanggar sejumlah regulasi, antara lain Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Pasal 50 jo. Pasal 78), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 69, 87, 98, 99, dan 116), serta Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP terkait penyertaan dan pembantuan.
Samsudin menambahkan, kerangka hukum tersebut membuka ruang penegakan hukum pidana, perdata, pemulihan lingkungan, hingga tuntutan penggantian kerugian negara.
LSM LIRA menegaskan langkah ini merupakan bagian dari agenda keadilan ekologis nasional. Apabila negara gagal bertindak tegas dan transparan, organisasi menyatakan siap menempuh jalur hukum dan konstitusional.
“Hutan adalah benteng terakhir keselamatan rakyat. Jika benteng itu runtuh karena pembiaran, maka negara wajib bertanggung jawab,” pungkas Samsudin.






