PROBOLINGGO – Ruang sidang utama DPRD Kota Probolinggo pada Rabu malam, 19 November 2025, tampak tenang. Para anggota dewan dan undangan duduk menyimak, ketika Fraksi Gerakan Pembangunan Indonesia Raya (GPIR) mulai membacakan pemandangan umumnya terhadap Raperda APBD Kota Probolinggo Tahun Anggaran 2026.
Fraksi gabungan Partai Gerindra dan PPP itu diwakili Riyadus Solihin. Dalam pembukaannya, ia menegaskan bahwa APBD bukan sekadar daftar penerimaan dan belanja.
“Ini adalah arah pembangunan, sekaligus tolok ukur keseriusan pemerintah menjawab persoalan masyarakat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, isi pemandangan umum mereka tidak berhenti pada persetujuan normatif, tetapi memuat catatan kritis dan sejumlah harapan.
GPIR mengingatkan bahwa penyusunan APBD 2026 harus mengacu pada RKPD, KUA, dan PPAS yang telah disepakati pada 15 September 2025. Dokumen tersebut juga menyesuaikan arahan pusat, termasuk alokasi transfer ke daerah dan pagu DBH Cukai Hasil Tembakau. Namun dari penyesuaian itu, fraksi menilai ada dinamika pendapatan yang fluktuatif, sehingga diperlukan pengelolaan fiskal yang lebih inovatif dan hati-hati.
Salah satu sorotan tajam GPIR adalah masih rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi. Meski sosialisasi sudah dilakukan pemkot, realisasinya belum memuaskan. Karena itu, mereka mendorong langkah pembaruan, terutama pada pemetaan wajib pajak berdasarkan jenis usaha secara lebih detail. Basis data yang akurat dinilai mampu mengurangi kebocoran dan meningkatkan akurasi pungutan.
Digitalisasi sistem pajak daerah juga menjadi perhatian. Menurut fraksi, penggunaan teknologi pada layanan retribusi parkir, pajak restoran, serta sektor usaha lainnya masih jauh dari optimal. Padahal digitalisasi dapat memperbaiki transparansi serta memudahkan masyarakat memenuhi kewajiban fiskalnya.
Terkait sektor pariwisata, GPIR menilai penurunan pendapatan tidak bisa hanya dikaitkan dengan munculnya destinasi baru di daerah lain. Pariwisata, kata mereka, adalah arena kompetitif. Pemkot diminta memperkuat perbaikan sarana, memaksimalkan potensi lokal, serta mengintensifkan strategi promosi agar sektor wisata tetap mampu menyumbang PAD.
Fraksi GPIR juga menilai strategi peningkatan investasi daerah belum tergambar jelas dalam Nota Keuangan. Mereka menekankan bahwa di tengah penurunan transfer pusat, pemerintah harus memiliki langkah konkret untuk menarik investor. Investasi dipandang bukan hanya soal masuknya modal, tetapi juga pembukaan lapangan kerja, pertumbuhan UMKM, serta perputaran ekonomi masyarakat.
Dalam forum paripurna itu, GPIR menyampaikan sejumlah pertanyaan substantif untuk dievaluasi pemerintah. Termasuk strategi menaikkan PAD, mengurangi ketergantungan fiskal pada pusat, mitigasi bencana dengan anggaran BPBD sebesar Rp3,41 miliar, hingga efektivitas belanja program prioritas.
Bidang pendidikan juga menjadi sorotan penting. Dengan anggaran lebih dari Rp.203 miliar, mereka mempertanyakan kesenjangan pembiayaan antara sekolah swasta dan lembaga yang memberikan layanan lebih terjangkau kepada masyarakat kurang mampu. Kajian ulang penyaluran BOSDA diperlukan agar tidak menimbulkan ketimpangan baru.
Pada sektor ekonomi kerakyatan, fraksi mempertanyakan sejauh mana anggaran DKUP senilai Rp14,53 miliar mampu mendorong operasional Koperasi Merah Putih di 29 kelurahan. Revitalisasi GOR A. Yani sebagai pusat kegiatan UMKM juga dianggap membutuhkan program pendukung agar benar-benar hidup dan memberi manfaat.
Sorotan lain diarahkan pada infrastruktur lingkungan, khususnya jalan dan gang permukiman yang masih banyak mengalami kerusakan. Dengan kebijakan belanja infrastruktur minimal 40 persen hingga 2027, GPIR meminta pemkot menunjukkan rencana kerja yang lebih konkret dalam APBD 2026.
Melalui pemandangan umumnya, Fraksi GPIR menegaskan bahwa APBD 2026 harus menjadi instrumen perubahan yang menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, memperkuat kemandirian fiskal, serta mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. “Di balik setiap angka dalam APBD, ada kepentingan hidup warga,” tegas mereka. Karena itu, pemkot dan DPRD dituntut memastikan bahwa setiap rupiah benar-benar memberi manfaat, bukan hanya tercatat di atas kertas.






