PROBOLINGGO – Empat murid Sekolah Rakyat (SR) Kota Probolinggo resmi tercatat putus sekolah. Dinas Sosial (Dinsos) menyebut, penyebabnya bukan fasilitas atau pembelajaran, melainkan persoalan di dalam keluarga.
Fakta ini mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPRD Kota Probolinggo, Rabu (12/11/2025). Ketua Komisi III Mukhlas Kurniawan menyoroti fenomena “bongkar pasang murid” di sekolah alternatif tersebut.
“Itu bagaimana kondisinya sekarang? Saya tahu ada bongkar pasang murid. Apa alasannya sampai ada yang putus sekolah? Apakah karena fasilitas atau hal lain?” tanya Mukhlas tajam dalam rapat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mukhlas menegaskan, meski SR merupakan program pemerintah pusat, tanggung jawab moral tetap melekat pada pemerintah kota.
“Meskipun ini program pusat, tapi muridnya kan dari kita. Maka pemkot juga wajib tahu persoalannya,” tegasnya.
Menjawab itu, Kepala Dinsos Kota Probolinggo, Madihah, menjelaskan ada delapan murid yang sempat terancam berhenti. Tiga berhasil dibujuk kembali, satu diganti, dan empat lainnya menolak bersekolah lagi.
“Empat murid itu tidak mau kembali. Dari hasil koordinasi, sebagian besar karena masalah keluarga,” ujarnya.
Madihah membeberkan, penyebabnya beragam: perceraian orang tua, perbedaan prinsip dalam mendidik anak, hingga komitmen keluarga yang tidak sejalan.
“Kalau orang tuanya bercerai, biasanya salah satu ingin anak ikut dia. Ini berdampak langsung pada sekolah anak,” katanya.
Persoalan tak berhenti di situ. Mukhlas juga menyoroti kondisi gedung SR yang dinilai kurang ideal. Murid jenjang SMP dan SMA masih menempati satu gedung.
“Ini masa remaja mereka. Kalau satu gedung, khawatir terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Apa langkah antisipasinya?” ujarnya mengingatkan.
Madihah menegaskan, pengawasan sudah diperketat. Murid laki-laki dan perempuan dipisah di lantai berbeda, masing-masing dijaga petugas.
“Kami juga sedang mengajukan pinjaman untuk membangun gedung baru di lokasi awal. Kementerian Sosial dijadwalkan datang bulan ini,” ungkapnya.
Usai rapat, Madihah menuturkan pihaknya telah berupaya membujuk murid agar tidak berhenti belajar. Psikolog bahkan didatangkan untuk memediasi keluarga.
“Kami sudah datangkan psikolog supaya anak dan orang tua paham pentingnya pendidikan. Tapi, kalau komitmen keluarga tidak sejalan, kami sulit memaksa,” ujarnya.
Meski demikian, ia memastikan, anak-anak yang keluar dari SR tetap diarahkan untuk melanjutkan pendidikan di jalur lain.
“Kami tekankan, mereka tetap harus bersekolah, bisa di sekolah umum atau pondok pesantren. Itu keputusan keluarga,” pungkasnya.






