PROBOLINGGO – Rencana Pemerintah Kota untuk merevitalisasi dan mengubah wajah Jalan HOS Cokroaminoto agar menyerupai kawasan Malioboro di Yogyakarta tidak berjalan mulus. Di internal Badan Anggaran DPRD Kota Probolinggo sendiri muncul perbedaan pandangan. Ada yang setuju, ada pula yang memberikan penolakan secara halus melalui saran-saran.
Pihak yang mendukung umumnya berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Sementara mereka yang keberatan memilih menyampaikan kritik konstruktif, meminta agar rencana tersebut dikaji ulang atau dialihkan ke lokasi lain yang dinilai lebih prioritas untuk kepentingan masyarakat.
Wakil Ketua DPRD, Abdul Mujib, menyatakan lebih sepakat jika revitalisasi difokuskan lebih dulu pada Jalan Mastrip sebagai proyek contoh. Jika hasilnya baik dan tidak menimbulkan gejolak, barulah di tahun berikutnya pemerintah dapat melanjutkan proyek di Jalan Cokroaminoto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kita lihat dulu respons warga terhadap pembangunan di Jalan Mastrip. Kalau hasilnya baik dan tidak menimbulkan masalah, baru tahun berikutnya bisa dilanjutkan ke Jalan Cokro,” ujar Mujib.
Mujib menambahkan, pada 2026 pemerintah dapat mulai mengerjakan DED (Detail Engineering Design) atau perencanaan rinci, yakni dokumen teknis yang memuat gambar, spesifikasi, serta rincian konstruksi mencakup arsitektur, struktur, hingga mekanikal, elektrikal, dan plumbing (MEP).
Ia menilai dokumen itu penting sebagai pedoman komprehensif untuk menyusun estimasi biaya, memastikan pekerjaan sesuai rencana, serta meminimalkan risiko kesalahan maupun pemborosan waktu dan anggaran.
Selain itu, pemerintah juga memiliki lebih banyak waktu untuk mensosialisasikan rencana ini kepada warga, termasuk para Pedagang Kaki Lima (PKL). Dengan edukasi yang memadai, masyarakat diharapkan memahami tujuan revitalisasi Jalan Cokro agar tidak memicu penolakan. “Kalau sosialisasi jalan, gejolak bisa ditekan,” imbuhnya.
Di sisi lain, Syaiful Iman menekankan agar pemerintah tidak terburu-buru atau memaksakan proyek hanya demi mewujudkan keinginan wali kota. Menurutnya, kajian mendalam harus menjadi dasar utama, terutama terkait dampak ekonomi yang mungkin timbul. Tanpa analisis, ia khawatir masyarakat, terutama pelaku usaha, akan merasa terancam.
Politikus PKB itu mencontohkan pembangunan Pujasera di GOR Ahmad Yani yang dinilai tidak berdampak positif bagi PKL yang direlokasi ke sana. Ia menyebut hal itu sebagai akibat pembangunan yang dikerjakan tanpa perencanaan yang matang.
“Pedagang alun-alun yang dipindah ke Pujasera GOR Ahmad Yani tidak mendapat peningkatan ekonomi. Tempatnya memang rapi, tapi sepi pembeli. Kami tak ingin hal yang sama terjadi di Jalan Cokro,” tegas Syaiful Iman.
Ia juga menyoroti rest area dekat Terminal Bayuangga, yang sudah dua tahun tidak difungsikan dan kini hanya ditumbuhi rumput liar. Menurutnya, itu contoh proyek tanpa manfaat bagi masyarakat dan hanya menghabiskan anggaran.
Berbeda dengan keduanya, anggota Banggar dari fraksi partai pemerintah, Riyadus Solihin (Gerindra), berharap Dinas PUPR segera mengeksekusi rencana tersebut pada 2026. Ia menekankan pentingnya PUPR melakukan sosialisasi intensif kepada warga dan PKL.
“Pak Wali kalau melihat kawasan kumuh pasti ingin cepat diperbaiki. Contohnya GOR Ahmad Yani, meski awalnya banyak ditolak, sekarang jadi bersih dan nyaman,” ucap Riyad.
Riyad juga meminta agar anggaran revitalisasi Jalan Cokro ditambah karena Rp 8,5 miliar dinilai belum mencukupi. “Tambahi anggarannya. Biar sekali bangun langsung tuntas,” katanya.
Setelah rapat Banggar, Kepala Dinas PUPR Setyorini Sayekti mengonfirmasi bahwa DED untuk revitalisasi Jalan Cokro memang belum disusun. Pihaknya baru akan berkoordinasi dengan OPD lain sebelum mulai bergerak pada 2026.
“Kalau nanti Jalan Cokro ditetapkan sebagai kawasan ekonomi, kami akan turun ke masyarakat bersama OPD terkait. Porsi PUPR di sana lebih banyak menyangkut infrastruktur,” jelas Rini.
Ia menambahkan, pelaksanaan revitalisasi dapat dimulai apabila R-APBD yang memuat anggarannya disetujui DPRD. Setelah itu barulah kajian lanjutan dilakukan, termasuk rencana relokasi PKL melalui kerja sama dengan OPD terkait dan lembaga yang kompeten.
Ketika ditanya mengenai munculnya angka Rp 8,5 miliar padahal kajian belum ada, Rini menyebut itu sebagai perhitungan kasar awal. “Kalau anggarannya sudah diketuk, barulah kami lakukan hitungan detail,” tuturnya.
Rini tidak menolak bahwa beberapa kalangan menilai proyek ini terkesan dipaksakan. Namun ia menegaskan bahwa setiap kepala daerah memiliki prioritas pembangunan. PUPR sebagai OPD teknis berkewajiban menerjemahkan program itu sesuai aturan yang berlaku. “Semua tetap mengikuti regulasi,” pungkasnya.






