suarabayuangga.com – Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak bisa lagi dipahami semata sebagai musibah alam. Intensitas curah hujan yang tinggi memang faktor pemicu, namun kerusakan lingkungan—khususnya hutan dan daerah aliran sungai—patut diduga sebagai faktor pengganda yang memperparah dampak bencana.
Di titik inilah publik menanti kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Pertanyaannya bukan sekadar apakah negara hadir, tetapi mampukah negara membongkar kejahatan di balik bencana ekologis ini hingga ke akar-akarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penegakan Hukum: Jangan Berhenti di Permukaan
Aparat Penegak Hukum (APH) harus berani bertindak tegas, profesional, dan independen. Penyelidikan tidak boleh berhenti pada pelaku lapangan, tetapi harus menjangkau aktor intelektual, pemodal, korporasi, hingga oknum pejabat yang diduga terlibat atau lalai dalam pengawasan.
Jika benar terjadi pembalakan liar, penyalahgunaan izin, atau pembiaran sistemik, maka perbuatan tersebut berpotensi melanggar UU Kehutanan dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penegakan hukum wajib dilakukan secara transparan dan akuntabel, agar publik percaya bahwa hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Presiden Prabowo diuji: apakah penegakan hukum lingkungan akan menjadi simbol keberanian politik, atau kembali menjadi rutinitas tanpa ujung.
Penyelamatan Korban: Negara Harus Hadir Penuh
Di atas segala perdebatan hukum, ada fakta paling mendesak: rakyat menjadi korban. Negara wajib memastikan tindakan penyelamatan dilakukan secara masif, terkoordinasi, dan sistematis—mulai dari evakuasi, layanan kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar, hingga pemulihan psikososial.
Penanganan korban tidak boleh bersifat seremonial atau reaktif. Pemerintah pusat dan daerah harus bergerak dalam satu komando, dengan pendekatan kemanusiaan yang adil dan berkelanjutan.
Pencegahan: Jangan Biarkan Sejarah Terulang
Lebih jauh, bencana ini harus menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk bertindak preventif. Audit menyeluruh terhadap izin kehutanan, evaluasi tata ruang, pemulihan ekosistem hulu, serta pengetatan pengawasan harus dilakukan secara serius.
Jika negara gagal belajar dari bencana, maka tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu. Pencegahan bukan pilihan, melainkan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi rakyat dan lingkungan hidup.
Ujian Kepemimpinan
Bencana Sumatera–Aceh adalah ujian kepemimpinan nasional. Presiden Prabowo memiliki momentum untuk membuktikan bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan perusak lingkungan, dan bahwa keselamatan rakyat berada di atas segalanya.
Publik menunggu jawaban, bukan sekadar janji.
Apakah negara berani membongkar kejahatan di balik bencana, atau membiarkannya tenggelam bersama lumpur dan air bah?
Penulis:
Bambang Ashraf
Aktivis Pegiat Antikorupsi Jawa Timur






